Pendidikan kritis, tentang ruang dialog - ,

Breaking

Senin, 28 Februari 2022

Pendidikan kritis, tentang ruang dialog

 

Gambar : Penulis(Sumber dok: Awipa-Mkw)

Oleh Reni W. Pigai


Opini,AWIPA-MKW I Pendidikan kritis adalah pendidikan yang meyakini adanya muatan dialog dalam semua aktivitas pendidikan. Visi pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman, bahwa pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, kultur dan ekonomi. Juga mesti diketauhi, bahwa pendidikan memiliki unsur politik dalam kerangka relasi-relasi antara pengetahuan, kekuasaan dan ideologi.

Pendidikan telah dipersepsi sebagai ruang belajar bagi semua, mengupayakan mengakomodasi kecerdasan. Ruang Pendidikan semestinya lebih konstrutif, kritis, dan Membangun aktivitas-aktivitas dialektis yang transfomatif. dengan hal seperti itu, menjadi tempat bereksperimen dalam membentuk paradigma.

Apa yang disampaikan socrates dalam kisahnya di kota athen, di sebuah pasar dekat pantai, ia sedang berdialog dengan pemuda di athena. Dalam renungannya, Bahwa potensi pengetahuan manusia sudah ada dalam dirinya sejak ia lahir, melalui proses dialog, pengetahuan itu akan terlahir.

Di sini, Proses interaksi gagasan secara dialektis, sangat erat dengan proses penerimaan. Keduanya tidak bisa dipisahkan, jika dipisahkan maka kaum pelajar mengabaikan unsur-unsur penting, dan itu tidak efektif, yang perlu dikembangkan di dalam diri peserta didik, seperti refleksi kritis, dan rasa keingintahuan.

Itulah Proses dielektika, segalanya harus dibincangkan. yang ditekankan dalam pembelajaran adalah memahami, mengkritisi dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat memahami realitas hidup, dan mengubahnya. 

Dalam pendidikan kritis, juga memainkan peranan yang signifikan, dalam membentuk kehidupan pendidikan dan cultural, Sekolah adalah media untuk menyiapkan dan melegitimasi bentuk-bentuk kehidupan sosial.

Pendidikan yang membentuk ruang yang bebas, di mana pemikiran lebih dihargai. Di sini, guru ataupun dosen tidak dianggap, atau di posisikan sebagai pusat segalanya, dalam arti sumber kebenaran. Ia bukan satu-satunya sumber pemilik otoritas kebenaran dan pengetahuan, juga bukan pemilik tunggal kelas, hubungan guru dan murid bukanlah bersifat vertical seperti yang terjadi di pabrik yang mengindikasikan atasan dan bawahan, atau manajer, tetapi bersifat horisontal dan egalitarian, guru dan murid sama-sama subjek yang belajar bersama.

Meskipun Saat ini, yang harus diakui, sebanyak guru dan dosen yang menganggap dirinya berkuasa penuh di kelas, merasa paling tahu tentang ilmu, merasa sebagai sumber otoritas tunggal yang tidak bisa dibantah. Hal demikian tampak tidak sehat, pemikiran terbatas. karena pendidikan hanya akan menjadi arena dotrinisasi, bukan upaya untuk mencerdaskan, unsur materi pelajaran dalam pendidikan kritis tidaklah hak semata-semata progratif dari guru. Pendekatan lebih dipilih mengkonstruksi isi pembelajaran atau kurikulum dengan menjadikan kehidupan peserta didik sebagai titik pijak atau entry point.

Seperti apa yang kita pahami, pendidikan menjadi tempat di mana karakter pemikiran terbentuk, yang sehat dan bebas dari hal-hal tekanan.

Ruang pendidikan adalah sebagai medium interaksi pemikiran, berdialog tanpa adanya mendominasi, tak ada yang unggul. Tempat yang bebas dari intervesi pengetahuan.

Apakah konsep pendidikan kritis yang kita bicarakan ini, sudah ada di ruang lingkup pendidikan? Ataukah, hanya sekedar nostalgia pemikiran, yang kian terus diharapakan, yang mungkin sebatas perbincangan, dan selesai begitu saja.


Penulis adalah Mahasiswa Papua Kuliah di STIH

Tidak ada komentar:

IKUTI KAMI