Kutegapkan badan ku, menatap langit dari kaki bumi, bumi bangsaku menjahit kehidupan. Biru, abu-abu, lalu menghitam berubah menjadi lukisan indah yang menyakitkan. Negeri ku,Negri bumi cendrawasih telah berubah menjadi kehidupan yang penuh haru, di setiap sudut bumi pertiwi pun menangis, tersendu Sendang, Perut membuncit, raga pun tersiksa membekukan tulang yang sebentar lagi akan membusuk di makan sang timah panas milik tuan-tuan.
Ibu pertiwi, aku tak pernah lagi melihat senyuman indahmu, tak juga kembali aku mendengar petuah-petuahmu, yang ada kini kau membisu dibalik kalbu. Kau berada diantara keluh kesah anak negeri Papua yang semakin hari semakin membuatmu nelangsa sedih dalam kebisuan.
Bumi cendrawasihku tak lagi punya belantara laut tak mengenal pelayan, gunung menjulang Panas, datarpun tak mengenal para pekerja..., bah, api semuanya kini jadi warnamu meluntur, hampir membakar pelupuk mata, pilu, sendu, Sementara sanubariku terpekur, tak sanggup lagi menatap Bumi yang ku dengar ceritanya dari bibir ayah dan ibuku.
Ibu pertiwi rasanya kau menamparku berkali-kali dan bertubi-tubi! Sakit, perih, tapi aku merasakan kasih yang selama ini hilang ditelan kesombongan pangkat mataku, terbelalak saat hutanku terbakar, gunungku meletus, dan lautku tercemar Bah menelan tempat tinggalku, asap membumbung menyesakkan dada, ooh, Allah bangsa Papua ini kah nasib bangsaku yang sesungguhnya kau perjelas...?
Rasanya seperti tak ada lagi waktu untukku terisak menatap negeri tercintaku dalam lingkaran kehancuran oleh perampok Kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme' aku tak ingin kehilangan tanah kelahiranku yang san cipta jatahkan bagiku.
Kurajut asa lukisan papuaku hanya sepintas lalu, Berlalu, dan berganti potret abadi bersama pahlawan Rimba sejati. Biarlah nanti lukisan pedih tanah air ini terbingkai dalam kenangan karena cinta akan membawa kedamaian dan keamanan entah lama dan cepat, lambat dan laung, kapankah akan terwujud mimpi anak bangsa, berambut keriting dan berkulit hitam, sebagai mana adanya susu dan madu mengalir di setiap pijakan kaki anak-anak bangsa Papua.
Manokwari, 4 Oktober 2022
Karya: Papua Zonggonau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar